CERPEN:CERITA CINTA

Teater, itulah kata singkat yang berunsur banyak. Dari mulai sebuah senyuman, gelak tawa, sedih, marah, atau bingung semua dijabarkan didalamnya. Ketika sebuah nama tercantum dan bermain peran. Ketika sebuah kata terlantun dan menggema. Dan ketika wajah muda menjadi tua kala debu riasan melekat di wajahnya. Pada akhirnya, semua itu menjadi sebuah penampilan yang memukau. Bahkan menghasilkan ribuan tangan menepuk. Ribuan wajah takjub. Dan akhirnya sebuah kepuasan menjadi puncaknya.

Ada sesuatu yang begitu berkaitan dengan teater. Begitu melekat dengan teater. Bisa dibilang, ini adalah istri dari si teater. yang memberikan dukungan dan menentukan keberhasilan dari sebuah teater. Sesuatu itu adalah “ Naskah”. Yaitu suatu unsur yang didalamnya terdapat begitu banyak penyusun. Dimulai dari kata, kalimat, paragraf, dan akhirnya tersusunlah sebuah “Naskah drama”. Dan naskah inilah yang menentukan bagaimana para pemain melakoni perannya. Dan alur yang akan terjadi dalam teater tercantum didalamnya.
Begitu pula pada kehidupan. Jika kita tau, sebenarnya hidup kita berdasarkan pada sebuah naskah. Cinta, kebahagiaan, kesedihan, kasih sayang, dan yang lainnya semua dicantumkan didalam naskah yang dibuat tuhan. Dan kita sebagai mahluk tuhan lah yang menjadi pelakon dari setiap perannya.

Pagi yang indah di bulan September. Ketika mentari dengan gagahnya mulai memanjati langit biru. Memberikan hangat yang manis pada setiap insan. Dan memberikan semangat dan senyum untuk setiap aktifitas dan langkah mereka.
“Fail, sudah siang nak….sudah waktunya sekolah..!!!” suara wanita cantik yang amat kucintai melantun dan membangunkanku. Seolah suara itu menarik selimutku dan menjadikanku terjaga di pagi yang cukup hangat itu.
“ Iya ibu aku bangun “ dengan sedikit gontai aku mulai melangkah menyusuri setiap ruang untuk menuju ke kamar mandi.
Kuambil air yang dingin itu lalu kubasuhkan perlahan. Seiring dengan itu hatiku bergumam. Mungkin air mata yang mustahil tengah dia teteskan. Kala dia tau betapa rendah dan kecilnya tubuh yang meragainya ini. Dan kala dia tau ada zat yang begitu besar menatapnya dari tempat yang jauh disana.

Jam menunjukan pukul 6 tepat ketika aku telah siap menuju tempat yang disebut sebagai sumber ilmu.
“Ibu aku pergi dulu ya “ kukecup tangan tua wanita cantik itu. Dan dengan tangan lembutnya dia mengelus rambutku.
“ Hati hati ya…belajar yang giat..!!!” wanita itu tersenyum kala aku melangkah. Mungkin peluh peluh yang telah dia teteskan telah berubah bentuk. Menjadi tetesan harapan yang kini berada di pundakku. Dan menjadi sayap membangunkanku kala ku mulai lelah dan terjatuh.
” SMAN 1 CIPONGKOR “ itulah sebaris kalimat yang terukur diatas sebuah tugu yang berdiri kokoh. Dengan motif indahnya tugu itu mengucapkan selamat datang pada setiap insan yang memasukinya.
“ Hai rif…” sebuah suara menyapaku dari belakang.

Suara itu berasal dari bibir temanku Diki. Dia tepat berada didepanku kala kulihat sumber suara itu.
“ Oh …hai dik, mau ke kelas sekarang…?? “
“ Emm, tadinya aku mau nunggu di sih, tpi kayaknya dia bakal lama deh “
“ Oh, kalau gitu kekelas sekarang aja…”
“ Emm, iya deh ayo..”
Berbarengan kami menuju ke kelas. Kelas yang berisi orang orang cerdas dengan keanehan keanehan yang mereka miliki.

180 menit belalu sudah. Setiap detik yang berlalu didalamnya begitu berarti. Karna didalam setiap detik itu kata perkata orang berirlmu telah terlantun. Merambat melalui udara lalu bertamu di otakku. Mengalir di setiap jengkal saraf lalu mengetuk pintu otak. Lalu tinggal disana untuk kugunakan kelak.
“ Kakak “ sebuah suara mengagetkanku. Suara itu berasal dari bibir kekasih sahabatku.
“ Oh…hai Dwi, padahal gak usah ngagetin gitu kali “ jantungku berdetak lebih cepat kali ini.
‘’ He he..maaf kak, eh kak Dikinya ada…??? “
“ Emm, ada mungkin, coba liat aja ke dalem “
“Eh…nanti aja ah malu sekarang aku mau kekantin dulu laper…kakak mau ikut…!!! “ dengan senyum manisnya gadis yang sudah seperti adikku itu mengajakku pergi.
“ Emm, boleh deh…kakak juga laper “

Berbarengan kami menuju kekantin. Dengan sedikit gurauan gadis itu langkah kami menuju ke tempat pengisi ulang tenaga terasa lebih singkat. Dan akhirnya sampailah kami.
“ Kakak mau pesan apa..? “ gadis kecil itu mengeluarkan beberapa lembar uang 10 ribu lalu menghitungnya.
“ Emang kamu mau neraktir kakak…sok sok an ngeluarin uang banyak “ sembari menjulurkan lidah aku menanggapi tingkah kocak gadis itu.
“ Hmmm enggak…ha ha ha “ dia kembali memasukan uangnya kedalam saku.
“ Hmmm…dasar “ aku beranjak dari tempatku lalu mengambil sebuah mangkuk kosong serta sendok dan garpu. Seperti biasa setiap istirahat aku selalu melahap makanan faforitku yaitu mie goreng.
14 jam berlalu sudah. Sepertinya hari ini tidak ada sesuatu yang menantang yang harus kuhadapi. Tak ada rasa sakit, pertengkaran, kesedihan, atau apapun yang menjadi bumbu dalam kisah hidup manusia belum tampak hari ini. Tapi mungkin esok akan datang. Mungkin satu minggu yang akan datang. Atau mungkin beberapa bulan dan tahun yang akan datang.yang pasti aku akan selalu mencoba untuk menghadapinya. Untuk keputusan dan hasil yang akan terjadi nanti, itu tergantung naskah yang tuhan berikan untukku.

Capuccino manis yang mengepul terpaku dihadapanku. Kepulan asapnya seolah melambai dan mengajakku untuk mereguk manis tubuhnya yang coklat. Menghabiskannya, lalu bersandar sembari bersantai di waktu yang indah itu.

Waktu menunjukan pukul 8 malam kala kulirik arloji yang memeluk tanganku. Salahsatu waktu yang paling kusukai diantara waktu waktu indah yang kusukai. Karna di waktu yang indah ini aku mencairkan segalah penat dan masalah yang kian mengguyur tubuhku. Berbicara pada manik manik langit yang indah. Bersantai bersama keheningan dan cahaya redup. Juga bersenandung bersama lagu lagu romantis faforitku.
“ tinut…tinut…tinut… “ dengan perlahan dan sedikit getaran ponsel mungilku bertingkah. Biasanya nada kecil itu menandakan bahwa ada pesan yang masuk ke tubuhnya. Dan rupanya benar saja, satu pesan masuk tertera didalamnya. Dengan identitas yang entah siapa dan nomor yang entah milik siapa.
“ Malam kak “ sebaris kata singkat tertulis kala kubuka pesan itu. Pesan dari siapa…??. Wanita atau laki laki ?. niat baik atau niat buruk ?. sepersekian menit berlalu begitu banyak pertanyaan sudah muncul di otakku. Beberapa pertanyaan muncul karana ada sedikit rasa senang yang mekar. Dan beberapa pertanyaan lainnya muncul kala kewaspadaan pada hal buruk juga tumbuh.
“ Malam juga…siapa ? “ pesan sapaan yang dia berikan kutimpali dengan pertanyaan. Bukan pertanyaan yang sulit seperti Fisika dan Matematika. Tapi pertanyaan yang akan diberikan setiap orang kala ingin mengetahui lawan bicaranya.
“ Ini fatriani kak..kakak lagi apa ? “ satu pesan kembali masuk. Namun bedanya kali ini berisi penjelasan dan pertanyaan. Pernyataan bahwa dia adalah fitriani. Dan pertanyaan tentang kegiatan apa yang kulakukan.
“ Oh Fitriani…anak kelas sepuluh satu ya…lagi mencari ketenangan…he he.. “ kubalas pesannya dengan sedikit bumbu senyuman. Jika aku mengingat kebelakan sepertinya aku mengenal gadis bernama Fitriani ini. Seorang gadis cantik dengan perangai yang baik pula. Kalau tidak salah juga gadis ini pernah memberiku sepucuk surat cinta pada masa orientasi. Hanya saja mungkin aku jarang bertemu dengan gadis ini sehingga agak samar untuk mengingatnya.

Satu malam telah berlalu. Dengan diwarnai sedikit gurauan dan senyuman malam yang telah berlalu itu terasa lebih singkat. Yang biasanya aku hanya melewati malam dalam hening dan diam. Malam itu terasa lebih berwarna. Semua itu berkat kehadiran gadis kecil bernama Fitriani yang singgah dalam detik detik malam itu. Dan membantuku menghabiskan malam dengan bumbu senyuman.
Gelas yang semalam terpaku dihadapanku masih terisi capucino manis. Namun bedanya kali ini tak ada kepulan asap yang menandakan kehangatannya. Selain itu volume benda itu pun sudah berubah drastis. Hanya sepertiga tubuhnya yang masih terdiam didalam gelas. Suatu hal yang tak biasa terjadi dalam malam yang biasa kulewati. Karna biasanya capucino itu selalu habis kala kutenangkan diri dalam setiap malam yang berlalu.

Hari ini hari minggu. Hari yang menurut orang orang adalah hari yang paling bahagia dalam 7 hari yang telah berlalu. Karna mungkin dihari ini semua masalah dan segala yang dipermasalahkan dapat tercurahkan. Namun, mungkin persepsi mereka itu berbeda denganku. Menurutku hari minggu adalah hari yang paling membosankan sekaligus hari yang paling melelahkan dibandingkan 6 hari lannya. Bayangkan saja, dihari yang menurut orang lain adalah akhir pekan ini aku harus mengerjakan hampir setengah dari pekerjaan rumah. Ditambah lagi di hari ini aku harus latihan silat, kumpul PIKR, mengerjakan tugas sekolah, dan masih banyak lagi. Dan itu mengapa persepsiku akan hari minggu memang berbeda dari orang lain.
Kubuka lembaran buku yang terhampar dihadapanku. Buku dengan jilid hitam dan kertas putih berbaris rapih didalamnya. Jika orang lain bertanya siapa aku, aku akan menjawab inilah aku. Seorang anak remaja dengan berbagai aktivitasnya. Dan salahsatunya adalah kegiatanku yang bercita cita sebagai seorang penulis.

Menurutku menulis itu adalah kegiatan yang begitu menyenangkan. Ketika menulis aku dapat mencurahkan permasalahan dan kebahagiaan dalam kertas. Dan melalui tinta pena hitam kugoreskan kata per kata yang menjadi penjabaran hidupku. Dengan menulis pula sepertinya aku merasa tenang. Seperti halnya kerbau dan burung pipit yang selalu bersama. Aku dan hobbyku ini tak beda dengan hal itu.
“ Tinut…tinut…tinut.. “ ponsel mungilku berbunyi perlahan. Ada sebuah pesan masuk tertera didalamnya. Isi pesannya adalah sebuah pemberitahuan dari organisasi PIKR. Di pemberitahuan itu tertera bahwa hari ini akan diadakan pertemuan pada pukul 10 tepat.
“ Huft…mengesalkan “ gumamku.
Di hari minggu yang seharusnya menjadi waktu bersantaiku.Yang terhampar hanyalah tugas dan tugas.

Kututup buku yang rencananya akan kugores dengan tinta. Dengan sedikit tingkah kesal aku beranjak dari tempatku terduduk lalu menuju ke kamar mandi.
“ Brrrrrrr…dingin “ rasa dingin yang amat sangat menyengatku kala kusentuh air yang menggenang didalam ember.
“ Ibu, aku mau mandi pake air anget ya “ dengan nada yang sedikit membujuk aku meminta penawaran pada ibuku.
“Air anget…?..hey anak muda itu jangan banyak mandi pake air anget, nanti bisa cepet tua, lagian itu bukan air es kan, mandi pake air itu aja.!! “ tuturnya panjang lebar.
“ Iya bu iya “ dengan tingkah yang sedikit lesu kututup pintu kamar mandi. Mau tidak mau dipagi yang dingin ini aku harus mandi dengan air dingin pula.
“ Biru “ itulah kata dan arti warna yang tepat kala kutatap bentang biru langit yang indah. Dengan kapas kapas putih yang menggelantung di hamparannya langit pagi itu tampak begitu menenangkan. Diiringi puluhan paruh burung yang dengan merdunya bekicau Langkah kaki ini teras begitu ringan. Seperti kapas yang terbawa angin langkah kaki itu terus menderap di panjangnya aspal yang terbentang.
“ Huft…gak ada angkot lagi” gumamku sembari menggaruk rambut berombakku. Dihari minggu yang melelahkan ini aku harus dihadapkan pada kondisi yang mengesalkan pula. Bagaimana tidak…? . sudah hampir 30 menit berlalu namun tak ada satupun mobil angkot yang berlalu.
“ Tiit tiit “ sebuah suara klakson motor mengagetkanku. Rupanya suara itu berasal dari motor matic milik temanku Diki.
“ Bareng rif” dia berhenti tepat disampingku.
“ Huft untung ada kamu, aku udah hampir putus asa gak ada angkot” sembari bergumam aku naik keatas motornya.
Memang bisa dikatakan agak mujur juga sih. Disaat aku tengah putus asa. Masih ada juga pertolongan yang datang.

Setelah kurang lebih 2 jam berlalu akhirnya sampailah kami di tempat tujuan.
“ Maaf kami terlambat “ sembari menggoreskan senyum malu dibibir dan warna merah di wajah kami masuk ke dalam ruangan. Yani yang saat itu tengah menjadi moderator seketika mengubah wajah cantiknya menjadi marah namun mengundang tawa.
“ Hmm makanya lain kali pake jam besi jangan jam karet”
“ He he maaf “ sembari tersenyum dan membungkuk kami masuk
“ Awwww “ terdengar suara seorang yang menjerit. Rupanya suara itu berasal dari gadis yang berada disampingku. Rupanya kaki gadis itu terinjak olehku.
“Aduh maaf…maaf tadi kakak gak lihat, maaf ya “ sembari agak malu aku duduk dihadapannya.
“ Iya kak gak apa apa kok “
“ Ada yang sakit gak…? “
“ Emm, lumayan kak…tapi gak apa apa kok “
“ Sekali lagi maaf ya “
“Iya kak gak apa apa kok”
Dengan dibebani rasa malu yang ganda aku menuju kesudut ruangan. Malu karna terlambat dan malu karna menginjak salah satu gadis diruangan itu sudah cukup membembaniku.

Dua jam berlalu sudah. Dalam dua jam tersebut kami telah berbagi dan memikirkan banyak hal. Sesuatu yang telah menjadi hal biasa dalam organisasi ini.
“ Baiklah kawan kawan sepertinya pertemuan kali ini dicukupkan sekian. Semoga bermanfaat, selamat bertemu minggu depan ya.” Tutur yani panjang lebar manutup pertemuan itu.
Arloji di tanganku tengah menunjukan pukul 12 seperempat. Waktu dimana kebanyakan orang mengistirahatkan tubuh dan meneduhkan diri mereka dari teriknya mentari siang. Sayangnya nasibku berbeda dengan mereka. Aku malah duduk terdiam diantar hawa panas minggu siang. Memang cukup malang nasibku.

Sebuah bangku panjang yang kududuki, lima buah vas bunga, dan sebuah sapu yang bersandar tengah tenang dan terdiam. Diwaktu yang sepi ini hanya benda benda itu yang menemaniku. Walau mungkin sebenarnya aku tak bisa berkomunikasi dengan mereka. Tapi minimal, aku tidak terlalu sendiri di moment yang membosankan ini. Senua temanku telah pulang beberapa waktu yang lalu. Tak ada satupun manusia sejauh mata memandang.dan saat ini aku hanya terdiam bersama benda benda mati itu.
“ Hai kak..” sebiah suara mengagetkanku.
“ Eh firtiani, belum pulang..? “ dengan nada seorang yang kaget aku menjawab sapaannya.
“ Belum kak, nungguin angkot dulu”
“ Oh emang tadi kamu darimana, kok kakak gak lihat kamu “
“ He he baru aja bicara sama temen temen “
“ Emang belum pada pulang ? “
“ Belum, mereka terus ada disini kok “
“ Emmm gitu ya “ wajahku menggoreskan tanda kebingungan. Tepatnya saat ini aku tengah merasa aneh. Seingatku aku tak melihat satupun manusia disekitar sini. Tapi kok Fitriani bilang kalau teman temannya selalu ada disini.
“ Hiii “ bulu kudukku sedikit berdiri kala kupikirkan hal itu.
“ Kenapa kak “ Fitriani yang tepat berada disampingku merasa aneh pada gelagat yang tiba tiba kumunculkan.
“ E.. e emm, gak apa apa kok, Cuma tadi ada ulet “ jawabku
“ Apa…ulet ?.. mana ulet, mana ulet. “ wajahnya yang semula tenang seketika berubah layaknya riuh air sungai. Dengan sigap dia langsung memeluk orang berada paling dekat dengannya saat ini, yaitu aku.
“ Udah gak ada kok…udah kakak buang kok “ sembari sedikit tersenyum aku memberikan alasan yang sebenarnya tak terjadi.
“ Oh maaf kak “ wajahnya seketika memerah. perlahan lahan dia melepaskan pelukan eratnya tadi.
“ Emm, kenapa harus minta maaf, kakak juga sama kok takut sama ulet “
“ Bukan karna itu kak “
“ Trus kenapa…? “
“ Tadi aku meluk kakak, maaf ya “
“ Hmm, oh itu…gak apa apa kok, kakak tau rasanya pas lagi takut “
“ Oh…kakak gak marah..? “
“ Enggak kok gak apa apa “
“ Makasih kak kalau gitu “ wajahnya yang semula merah kini tersenyum kembali. Dengan jarak yang sedekat ini wajah cantiknya semakin tampak. Bola matanya yang indah layaknya rembulan dimalam hari. Rambut terurainya yang panjang begitu menambah kecantikannya. Bibirnya yang tipis tampak mengkilap dan menggoda. Dan semua itu terangkum dalam wajah indah gadis itu.
“ Kak “ suara Fitri membuyarkan lamunanku
“ Iya “ jawabku dengan mimik wajah yang kaget.
“ Kakak gak dingin…? “
“ Dingin, dingin kenapa..? “
“ Sekarang itu gerimis kakak” sembari membentangkan tangannya dia menunjukan bahwa kini tengah hujan.
“ Hah gerimis ? “ kutatap langit yang semulanya biru, dan rupanya benar saja. Rintik rintik mungil air mata langit secara perlahan menghunjam bumi. Dan sebagian dari mereka kini mendarat di tubuhku.
“ Eh iya ya…kok gak kerasa “ rupanya lamunanku tadi telah membuatku tak sadar akan apa yang terjadi.
“ Hmmm kakak ngelamun terus sih”
“ He he iya…kamu pake jaket kakak ya “ kulepaskan jaket hitam yang kini kugunakan.
“ Ah enggak kak gak usah “
“ Hey jangan gitu, kamu tuh cewek, nanti sakit “ paksaku
“ Tapi kak “
“ Gak ada tapi tapi, harus dipakai, lagian gak ada tempat neduh, nanti kamu kedinginan “ kupakaikan jaket hitamku itu ke tubuhnya.
“Emm, makasih kak “
“ Iya sama sama “
“ Emm, kakak kenapa belum pulang ? “
“ Gak ada angkot, jadi nunggun dulu “
“ Oh, sama dong”
Melihat apa yang terjadi saat ini aku teringat pada episode dalam sebuah film yang pernah kutonton. Episode dimana ketika sepasang kekasih tengah terdiam diantara ribuan air mata langit yang menderai. Tubuh mereka saling menghangatkan satu sama lain dengan sebuah pelukan. Dan tatapan mereka begitu dalam dan menyejukkan. Namun, antara episode dalam film yang pernah kutonton terdapat perbedaan. Yaitu aku dan gadis yang berada disampingku saat ini tak memiliki hubungan apapun.

Derai hujan yang semula hanya berupa rintik rintik kecil kini mulai deras. Yang mungkin semula hanya ribuan tetes kini menggandakan dirinya. Menjadi milyaran tetes yang dengan ganas menghunjam setiap benda yang terdiam diatas hamparan tanah bumi. Dan salah satu dari benda benda itu adalah kami. Dua orang yang tengah menunggu namun apa yang mereka tunggu tak kunjung datang.

Kulirik gadis yang kini tengah berada di sampingku. Tampak olehku dia mendekap erat tubuhnya. Bibir manis indahnya tampak menggigil. Beberapa hal yang membuktikan bahwa dia kini tengah diselubungi rasa dingin.
“ Kamu dingin “ tanyaku basa basi
“ E e enggak kak “ dengan bibirnya yang menggigil jawabannya menjadi terbata.
“ Hmm, bohong banget, udah ayo kita cari tempat neduh “ kutarik lengannya yang terasa dingin itu untuk segera beranjak.
Dengan langkah kecil kami beranjak dari tempat itu. Menyusuri jalan yang begitu panjang dan basah. Mencari tempat dimana kami dapat meneduhkan diri dari guyuran hujan dan dinginnya hembusan angin ini.

Tak berapa lama berselang akhirnya sampai lah kami disebuah toko buku yang tutup. Tak tampak satupun manusia yang meneduhkan diri di tempat itu. Hanya beberapa ekor kucing yang sepertinya tengah terjebak derainya air hujan.
“Kita berteduh disana aja yuk..!! “ ajakku

Fitriani hanya mengangguk. Mungkin rasa dinginnya teramat sangat sehingga sulit baginya untuk berucap. Wajahnya yang semula cantik kini tampak pasi. Bibir merahnya kini tampak abu. Terdengar pula giginya yang sedikit bergemeretak. Melihat kondisinya yang seperti itu tiba tiba muncul rasa iba yang amat sangat dalam hatiku. Tanpa pikir panjang kutarik lengan yang dia dekapkan di tubuhnya. Perlahan lahan kulingkarkan lennganku di tubuhnya. Kurapatkan pula tubuhku ini padanya.
“ Kakak “ dengan rasa kaget namun perlahan dia mencoba melepaskan pelukanku, tapi kutahan.
“ Fitri, kakak bukan mau niat jahat sama kamu…kakak Cuma gak mau liat kamu kedinginan, jadi tolong kamu diam dan hargai niat kakak “ jelasku.
Mendengar penjelasanku itu dia terdiam. Dia tak lagi mencoba melepaskan pelukanku. Perlahan lahan lengannya merangkul. Tubuhnya terasa semakin merapat dan merapat. Menjadikan setiap detik yang berlalu terasa begitu cepat. Deras air hujan tak lagi terhiraukan. Yang ada hanyalah sebuah kehangatan. Dan pelukan yang menghangatkan.

Air mata langit tak hentinya mengguyur. Teriring kawannya sang angin dingin mereka begitu selaras menciptakan suasana yang khas. Yang mengandung basah dan dingin dalam satu moment. Dan menjadikan setiap mahluk bernyawa merasakannya.
“ Kamu udah baikan ? “ tanyaku perlahan.
“ Udah kak, makasih “ dengan nada yang lemas dia sedikit tersenyum.
“ Kamu kayaknya sakit ya ? “
“ Enggak kok kak, Cuma agak lemes aja aja “
“ Hmm, itu berarti kamu lagi sakit “
“ Emm, eng………” kata katanya terputus
Suasana begitu sunyi. Seolah tak satupun suara tercipta di dunia ini. Detak jantung terasa begitu cepat, kala alat pelisan kami saling beradu. Otot terkuat manusia saling menyatu dan bersatu. Dan tetesan pelumat tertukar dan menukarkan.

Bibirku terasa basah. Terasa manis yang terkhayal. Terasa lembut dan nyaman. Dan menjadikanku seakan tak ingin melepaskan hangat bibir manisnya. Yang menjadi sebuah kecupan indah yang menghangatkan.
“ Ayah “ suara manis gadis kecil mengagetkanku
“ iya sayang, gak uasah ngagetin gitu dong sayang “ kupeluk tubuh mungil buah hatiku itu
“ Maaf ayah, tapi ayah janji sama aku kan “
“ Janji apa ya ayah lupa ? “
“ hmmm, ayah ini gimana, ayah kan janji mau ngajak aku ke makam ibu “ gadis itu mengubah wajah cantinya menjadi kecut namun lucu.
“ he he iya deh sayang, papah inget kok, kamu siap siap dulu ya “
“ yeee asyik, oke ayah, aku siap siap dulu ya” gadis cilik itu beranjak dari pangkuanku lalu berlari pergi.
Bayangan yang indah. Terasa seolah bayang bayang itu begitu nyata. Kala aku tengah bersama orang yang kucintai. Dan kala tubuhku masih dapat berlari mengejar angin. Namun, kini aku tengah tua. Bukan seorang Rifail yang dulu bersemangat. Kini aku telah menjadi seorang pemeran dari naskah tuhan yang telah tua. Namun masih berperan dalam naskah yang tuhan ciptakan untukku.

TAMAT
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar